√ Cerita Seks Hijab Rozah Yang Binal 3 - CERITA TANTE BINAL

Cerita Seks Hijab Rozah Yang Binal 3

Pov Rozah


03.00 pm
"Ini mas Iyant kok sampai kelupaan begini ya. Mana celananya kotor banget." Aku bergumam sendiri. Telanjang di kamar mandi. Melakukan mandi wajib setelah tadi digoda nafsu, menyerah pada gairah.

Mana aku juga kelupaan tadi. Duh, malunya aku sama Ray. Aku teringat tadi, Ray yang dengan jahilnya, menggodaku dengan daster ini. Untung aja dia datang setelah aku habis mandi. Gak kebayang kalau aku masih pakai daster, gak pake daleman lagi. bisa-bisa nanti di mesumin Ray. Oh, Ray mana berani ya. Hihihi.... beraninya cuma curi-curi pandang lihat pantatku. Dasar laki-laki.

Duh, fikiranku kemana-mana. Posisiku yg sedang jongkok ini membuat bongkahan pantat dan kelaminku merekah, bibirnya merona merah, seperti memar, setelah tadi habis terpakai. Hihihi.... entah kenapa suasana hatiku kembali mengembang. Hingga tak putusnya bibirku tersenyum.

Aku rendam dasterku, sekalian juga celana milik mas Iyant. Aku harus buru-buru mencuci celananya, juga dasterku. Bau keringat di daster ini bukan hanya bau keringatku saja. Karena samar tercium bau keringat laki-laki. Iiih, jantungku berdetak kencang lagi, teringat hal-hal gila tadi. Aku gak mau mas Aris tau, kalau tadi mas Iyant numpang mandi disini, harusnya tak kubiarkan laki-laki bertamu tanpa seijin suami.

Iiih... kenapa perasaanku bahagia gini ya. Dari tadi senyumku tak hilang-hilang.

Ini apa? tanganku merasakan sesuatu yg kental saat merendam dasterku, terasa agak lengket di jariku. Aku angkat lagi dasterku yang baru saja aku siram air dan melihatnya lebih jelas.

Deg! Ini kan....... i - ini maninya mas Iyant tadi - di pesantren dulu, pelajaranya gak pakai istilah pejuh/sperma - . Duh, aku sampai gak merasa tadi kalau maninya mas Iyant tercecer di dasterku, tepatnya dibagian bokongku.

Seketika aku panik. Taukah Ray tentang mani ini? Aduuuhhhh......perasaanku jadi gak enak. Apa lagi dia tau mas Iyan tadi ke sini numpang mandi. Nanti Ray pasti mikir yang enggak-enggak niiiihhhh. Duh, moga aja Ray gak tau. Moga aja tadi dia hanya pegang bagian atasnya.

Segera aku selesaikan mandi dan cuci dasterku. Celana mas Iyant sudah selesai aku cuci dari tadi, aku gantung lagi dan kututupi dengan handukku. Mengantisipasi kalau saja mas Aris tiba-tiba ke kamar mandi.

Tok tok tok tok.... kudengar pintu belakang rumah diketok.

"Mbak, mbak Rozah."

Kudengar juga ada yg memanggil. Dari suaranya, aku tau siapa yang datang. Duh dia datang lagi. Aku tersenyum, lucu aja mendengar cara dia memanggil. Seperti berbisik.

Untung mandiku baru saja selesai. Segera aku ambil handuk dan memakainya. Walau hanya pakai haduk, tapi aku sempatkan menyampirkan kerudung di kepalaku, mau ke kamar dulu buat ganti pakaian tapi takut nanti bangunin mas Aris. Lagian pintunya persis di samping kamar mandi ini.

"Nih mas celanamu. Dah aku cuci, tinggal jemur aja." Kataku setelah membuka pintu. Didepanku ada mas Iyant, wajahnya malu-malu di depanku.

"Hehe...maaf kelupa'an mbak." Katanya

"Mbak lagi? Sana mas langsung balik, aku mau ganti baju." Duh, mas Iyant tak memandang mataku. Dasar laki-laki, "lihat mataku mas, jangan ke bawah. Jaga tuh pandanganya." Kataku sambil pura-pura melotot kepadanya. Tapi tanganya....

"Ih mas, sudah dibilangin jangan pegang-pegang. Mau aku tarik lagi kata-kataku tadi?" Aku mengancamnya. Laki-laki memang suka ngelunjak. Tadi aja mohon-mohon. Sekarang tambah nakal!

"hehe maaf Za, aku masih tak percaya aja kalau di depanku ada bidadari." Katanya cepat. Secepat itu juga dia langsung pergi meninggalkanku yang masih terbengong.

"Gombal." Jawabku lirih, sambil memandangi mas Iyant berjalan menjauh, yang sesekali menoleh melepas senyum, seolah berkata "berhasil-berhasil".

Senyumku mengembang lebar. Milikku basah lagi!


●○●○●



09.10 pm.
Aku masih kepikiran soal tawaran kerja Ray tadi siang. Memang belum aku bicarain sama mas Aris. Soalnya aku sendiri tau, tak pernah sekalipun, terhitung mulai aku nikah dulu, mas Aris mengizinkanku untuk bekerja. Aku maklum aja, karena disini, di keluarga besar mas Aris, tak ada satupun wanita yang bekerja di luar rumah. Lagian dalam agamaku, sebaik-baiknya tempat untuk wanita adalah di rumah, melakukan tugas mulianya dengan merawat anak dan suami.

Rumahku adalah surgaku. Begitulah mas Aris selalu bilang. Bermaksud memberi pengertian padaku, bahwa kita tak perlu kaya kalau akhirnya tak ada waktu bersama. Tak apa-apa kita hidup sederhana, asal di rumah kita berasa bagai surga. Uang banyak, tak menjamin kita bahagia. Asal kita rajin beramal dan tak pelit, hidup ini tak akan sulit.

Itulah mas Aris, suamiku. Ustadz di kampung ini. Dengan latar pendidikan agamanya, hidup sederhana dan berkecukupan sudah lebih dari cukup untuk disyukuri. Tak perlu berlebih-lebihan dalam sesuatu hal. Tak baik katanya.Tapi aku juga sadar, banyak juga orang-orang yang kaya, berlebih dalam segala hal tapi masih tetap bertaqwa.

Oh ya, rumahku rumah sederhana, tidak terlalu kecil juga tak besar. Hanya ada dua kamar tidur, ruang tamu dan ruang keluarga, tempat nonton TV. Bagian dapur dan kamar mandi ada di sebelah kiri rumah, tersambung dengan rumah utama. Karena bagian dapur dan kamar mandi ini pembangunanya menyusul, tak mampu kita bangun rumah besar-besar sekaligus.

Malam ini, hanya ada aku dan mas Aris di rumah. Anakku Reza, sudah 2 hari ini menginap di rumah neneknya, ibu dari mas Aris. Hingga banyak waktu untukku beristirahat. Kususul mas Aris yang dari jam 8 tadi sudah masuk ke kamar.

"Mas, dari kemarin mas belum kasih tau adek, emang mas mau kemana pas kecelakaan kemarin." Tanyaku. Sudah dari kemarin mas Aris belum menjawab pertanyanku.

"Mas cuma pengen jalan-jalan dek."

Hihihi... itulah panggilan sayang kita, mas dan adek. Biasanya kan kalau ustadz panggilanya Abi dan Umi, tapi mas Aris yang gak suka. Katanya terkesan berlebih, "isin dek, kayak orang kaya aja." Itulah alasanya saat aku tanyakan perihal panggilan itu, "kalau panggilan mas dan adek kan terdengar lebih indah, terkesan kita masih muda, hahaha." Begitulah mas Aris, orangnya sederhana, gak neko-neko.

"Terus teranglah mas, adek ini istrimu. Gak mungkinlah mas pergi jauh gitu kalau niatnya cuma jalan-jalan." Aku duduk disampingnya, ku belai pipi dan tersenyum manis menatap matanya, "gak baik menyembunyikan sesuatu dari istri mas." Sengaja kubuat suaraku selembut mungkin, untuk menyentuh perasaanya. Aku tau ini ampuh untuk meluluhkan hatinya. Aku tau cara-caranya dan bisa semuanya.

Tuh berhasil, senyumku makin lebar.

Bibirnya mas Aris tersenyum, matanya lekat memandangi mataku. "Dari kemarin napa gak godain mas gitu dek, mas takut kamu marah." Di matanya masih tergurat keraguan, "dari kemarin kamu cemberut terus dek, dan mas juga kamu diemin."

Tersenyum aku memandangnya, memandangi suami tercintaku. Beban birahi yang selama beberapa hari mengusikku, dan tanpa bisa aku bendung, baru saja terlepas dari benakku. Menyisakan kelegaan hati dan menumbuhkan keceriaanku lagi.

"Maaf mas," kataku lirih, "salah mas juga sih, pergi-pergi gak pamit, baru aja kemarin adek mau minta tolong benerin itu pintu kamar mandi." Kataku sambil juga pura-pura cemberut, menggodanya. "Jadinya seminggu ini adek mandi gak ada penutupnya mas, jadi malu-malu sendiri, hihihihi." Akuku sambil gak bisa menahan tawa.

"Hahaha, maaf ya dek, kemarin memang mas lagi buru-buru." Katanya, tanganya mengusap pipiku dengan lembut. Iiiih wajahnya berubah, sisi-sisi bibirnya tertarik menampak-kan seringai mesum di wajahnya.

"Iiiihhhh..... mulai deh, senyum-mu mengerikan mas."

"Hahahahah..." kita berdua tertawa.

Beginilah seharusnya kita, selalu ceria walau kadang juga berlebih mesra.

Kupeluk suamiku yang rebahan di tempat tidur. Keadaanya sudah berangsur membaik, dia sudah bisa berjalan. Menunaikan ibadah wajibnya dan juga sudah bisa mandi sendiri, hihihi. Walaupun kadang masih merasakan sakit kepala yg membuatnya harus banyak-banyak istirahat.

"Adek!" Panggil suamiku. Pandangan matanya tepat di mataku, tanpa berkedip. Gurat wajah dan panggilan "Adek" menunjukkan kesan keseriusan. Seringai bibir mesumnya juga kembali datar.

"Iya mas." Jawabku juga menatapnya. Kurapatkan bibirku dari ketersenyumanku. Sejenak Wibawa mas Aris melunturkan suasana candaku. "Maafin adek mas, memang tidak seharusnya seorang istri mendiamkan suami." Kataku dengan menunduk. Aku merasa bersalah, tak pernah aku se-egois ini.

Deg! Fikiran negatifku timbul. Entah apa yang mas Aris mau sampaikan. Ada rasa khawatir di hatiku melihat keseriusanya, perasaanku tak enak. Apa soal mas Iyant tadi siang? tahukah mas Aris? Terdengarkah dari kamar ini?

Kuraih tanganya, "tolong maafin adek mas, adek salah," Kutundukkan kepalaku, mencium punggung tanganya, "aku tak akan mengulanginya lagi mas."

Rasa bersalahku terasa semakin dalam. Bertambah Pilu hatiku teringat peristiwa tadi siang. Peristiwa yang tak aku duga, merubah diri dan kehidupanku, pelan-pelan.

Penyesalanku ini membawaku kembali mengingat peristiwa itu;

PLAK !

Ini pertama kali dalam seumur hidupku, aku menampar seseorang. Sakit hati ini teramat dalam. Luka bertahun-tahun lalu ditoreh lagi.

"Aku masih mencintaimu Za, dari dulu sampai sekarang." Matanya nanar menatapku. Tangannya masih mencoba meraih tanganku. Tak ada ekspresi keget di wajahnya, seakan dia tau, tamparan ini akan terjadi.

Setelah sekian tahun dia menghilang, kini dia hadir lagi, membawa kenangan lama. Menyiksaku dengan mendekat dan jadi tetanggaku. Ku tahan amarah bertahun-tahun ini, biar suamiku tak tahu, kisahku dulu yang semanis madu.

"Diam kamu mas!" Aku meradang. Suaraku keras tapi masih ku tahan. Teringat suamiku ada dirumah. Tersadar telapak tanganku terasa perih. Tamparan keras itu masih dalam kesadaranku, dari dulu inilah keinginanku. Emosiku tak bisa ku bendung lagi.

"Aku janji akan setia Za, kembalilah padaku lagi." Tanganya masih mencoba menyentuhku.

"Setia?" Tanyaku sinis sambil menepis tangganya. "Kesetiaanmu itu dusta. Kesetiaan itu bukan untuk kau ucapkan mas!"

"Nanti aku akan benar-benar setia padamu Za!"

"Oh ya, apa kau tau? Kesetiaan harusnya hanya sebuah janji mas ," kujulurkan tanganku, ujung jariku menyentuh dadanya, menunjuk, "harusnya kau berikan janjimu untuk dirimu sendiri. Berjanjilah setia pada dirimu sendiri."

Tanpa sadar kelopak mataku membasah. "Jangan kau janjikan kesetiaanmu pada orang lain. Kalau akhirnya, kau sendiri yang mengingkari!"

Tajam sorot mataku menatap matanya. Belum puas aku mencercanya. Suatu hal yg tidak pernah kulakukan pada siapapun. "Kau belum sadar mas? Kau lupa apa sengaja, sudah bertahun-tahun ini...?" Jariku masih menunjuk dadanya. "Bahkan kata maaf pun tak kau ucapkan!" Aku coba menahan agar tidak menangis. Mundur menjauh darinya.

"Aku tidak bersalah Za, aku...."

PLAK ! !

Tamparan Kali ini di luar kendaliku. Bejatnya dia sampai tak mengakui kelakuan hewan-nya dulu. Membuat amarahku membuncah melepas kontrol kendali tanganku. Rusaknya masa depan kedua sahabatku juga tanggung jawabnya. Perbuatan hinanya. Tapi dia menghilang bagai ditelan bumi, tanpa terucapan kata maaf dan penyesalan.

Terasa basah di mataku, pandanganku memburam karena air mata. Tidak percaya seperti inikah pria yang aku cintai dulu. Pria pilihanku, pria dengan sejuta harapan indah masa depanku, pria yang aku pilih dari ratusan pria yang berharap memilikiku.

Tangisku berderai tanpa suara, pipiku basah. Tiada mau Aku menunduk dan terisak, mencoba sekuat tenaga menahan egoku di depanya. Cukup air mata saja untukmu mas. Agar jelas kau lihat, diriku bukan lagi milikmu!

"Apa yg terjadi padaku ini." Bisik dalam hatiku. Kekecewaan dan derita masa lalu, mengikis habis kendali diri dalam sekejap mata. Kenapa sekarang kau mengungkitnya lagi mas.

"Aku rindu padamu Za," katanya, kakinya maju selangkah mendekat, bersimpuh di depanku, "Maafkan aku Za, kerinduan ini bertahun-tahun membebaniku," katanya, tanganya meraih tanganku yg masih bergetar karna emosi dan tangisku.

Entah kenapa aku biarkan genggaman tanganya. Kata rindu yg terucap lewat suara parau penyesalannya, sedikit menyentak relung dasar hatiku. Relung paling dasar tempat timbunan cinta lama. Cinta yg dengan sadar telah aku kubur.

"Bertahun-tahun aku memendam rindu ini Za. Aku menyesali kepergianku sebagai pengecut. Tak kuat tiap hari aku melihatmu. Hanya melihatmu." Genggaman tanganya erat.

"Lupaka aku mas. Aku bukan lagi "Za" yang kau miliki dulu. "Za"-mu telah mati," bibirku bergetar. Tersayat hatiku mengatakan ini. Teringat dulu aku sangat dan sangat mencintainya. "Aku sudah bahagia bersama mas Aris, aku ba....."

DEG!

Tubuhku tersentak kaget, apa ini! Dia menubrukku. Kurasakan seluruh tubuhku tergetar. Detak jantungku berdegub kencang, nafasku tersengal. Aku bahkan mematung tak bergerak. Seolah darahku berhenti mengalir. Tubuhku luruh dalam pelukanya.

Bagai tersengat aliran kejut listrik. Kenangan-kenangan indah dulu, berputar serupa sebuah film trailler. Puluhan cuplikan kenangan masa lalu. Berpendar bagai proyektor memutar di angan fikiranku;

"Wahai sang Bidadari, kalau kau nyata, boleh ku tau namamu?" Awal kenalan dulu, dia gak ada malunya menggodaku.
"Senyum bibirmu semanis madu Za, boleh kucicip?"
"Hentikan tangismu Za. Ini hanya kakiku yang patah. Aku takkan mati."
"Hidupku cuma sekali Za, menikah pun cukup sekali. Iya, itu denganmu."
"Sudah Zaaaa, kamu kelama'an meluknya."
"Ini janjiku untukmu Za. Aku Iyant, Riyanto Baskara. Setelah lulus nanti, aku dan kedua orang tuaku akan datang melamarmu. Sekarang, sebelum sampai pada waktunya. Aku akan setia mencintaimu. Semoga kau berkenan Za."
"Pertanyaan apa itu Za? Kalau kau yang mendahului mati. Aku akan membujang untukmu."
Tanpa sadar, air mataku makin deras mengalir.

Hik...hik..hik...suara tangisku pecah. Tak bisa kutahan lagi egoku. Imanku terpaksa menyerah pada kenangan ini. Kenangan indah cinta pertamaku. Kurapatkan tanganku erat. Melingkar di pinggangnya dan memeluknya sangat erat. Kalau saja tubuhnya tak sekekar ini, mungkin sudah remuk karena ulah rinduku.

Hik...

Hik.. - ku bekapkan wajahku di lehernya -

Hik..

Hanyut dalam pelukan, Semenit terasa lama sekali.

Terpaksa kulepas dekapanya. Aku tersadar sesuatu. Iiiihhhhh.....aku malu karena teringat pakaianku. Baju yang kukenakan ini hanya daster tipis. Daster tanpa lengan, kesukaan suamiku. Lagian aku juga belum mandi. Berkeringat.

"Kebiasaan ya, gak pernah berubah dari dulu kamu Za. Iya kan?" kata-kata mas Iyant membuatku malu.

Aku tak bisa menjawab pertanyaan ini. Yang kulakukan cuma menunduk. Aku terlalu malu untuk mengakuinya. Walaupun dia tau apa yg dikatakanya benar. Iya, aku jarang mengenakan daleman kalau di rumah. Yang atas maupun bawah. Seperti dulu. Dulu sekali.

Aku sadar aku telah terjatuh dalam kenangan ini, cinta lama ini. Tapi aku juga sadar akan setatus dan harga diriku. Aku seorang istri dan sudah hidup bahagia dengan mas Aris. Aku punya janji setia untuk diriku sendiri buat mas Aris. Berkaca dari sakitnya dihianati kekasih , janji Ini tak akan aku ingkari sampai mati!

Aku juga punya harga diri. Harga diri wanita muslimah yg harus aku junjung tinggi. Aku tidak akan kembali padanya yg dengan tega, merusah kedua sahabatku dan menghianatiku. Ini hanya hatiku yg lemah, yang tak kuasa membunuh cinta pertama ini.

Aku coba memantabkan hati. Mengambil keputusan. Aku tatap matanya, "Aku bukan Za - mu yang dulu mas. Derita penghianatanmu tak pernah hilang dari hatiku. Aku tidak ingin menjadi penghianat sepertimu dengan kembali padamu. Tak sudi aku merelakan suamiku menderita sepertiku dulu."

"Zaaaa...." Suaranya parau.

Kuraih tanganya. Sengaja ku usap lembut dengan kedua tanganku. "Ini sentuhan terakhirku mas. Setelah ini, tolong hargai aku sebagai wanita bersuami. Jujur, aku masih merasakan cinta kita dulu. Kenangan indah dulu, tadi masih menghanyutkanku. Tapi aku masih punya harga diri. Harga diri seorang wanita yg dulu pernah kau khianati," tak kuasa aku menahan air mataku lagi. "Lepaskan aku mas. Hapus bayangku dari anganmu. Ikhlaskan aku hidup bahagia dengan suamiku mas."

"Aku merindukanmu Za." Suaranya lirih. Sekarang terlihat ketakutan di wajahnya. Matanya memohon, berharap keputusan yang aku ambil ini, tak mematikan semangatnya.

"Ini yang terbaik mas. " Ku genggam erat tanganya. Mencoba membuatnya mengerti.

"Mungkin kamu mengira aku menghianati semua janjiku Za. Dan itu semua tidak benar. Yang pasti, aku tidak pernah mencintai wanita setelahmu. Janji terakhirku tak kan kuingkari lagi."

Aku terpaku akan ucapanya. Teringat akan janji terakhirnya. Terbesit tidak percaya di hatiku, itu tidak mungkin! Sudah bertahun-tahun dia menghilang. Sebagai sahabat kentalnya, mas Aris sendiri pun tak tau di mana rimbanya setelah pelarianya dulu.

Apakah mungkin dia selama itu tidak....?

Memang baru dua tahun ini dia pulang ke kampung. Kematian ibunya dua tahun lalu, mau tak mau menyeretnya untuk pulang. Konsekuensi dari perbuatan dan pelarianya dulu berakibat fatal. Terlahir sebagai anak tunggal, menghilangnya dulu, membuat ibunya kehilangan, kecewa dan jatuh sakit.

"Za." Panggilanya membuyarkan lamunanku. Kutatap matanya, terenyuh.

"Keputusan itu aku ambil untuk menebus kesalahanku. Aku khilaf Za. Aku tau penyesalan ini tak ada gunanya, tapi sebisa mungkin aku akan menebusnya. Aku akan membayar semua ke khilafanku dulu."

Aku terdiam tak tau harus menjawab apa. Aku tersadar aku merindukan mas Iyant yg seperti ini. Pria tampan, tutur katanya halus dan berwibawa. Dulu, tak bosannya aku melihatnya bercerita, membuatku terhanyut. Sejujurnya dari tadi hatiku tergetar saat terucap panggilan "Za" dari suara lembutnya. Panggilan sayangnya Menentramkan, "Za".

"Kamu menamparku ratusan kali pun aku terima Za, lakukan sepuas hatimu. Tapi kau juga harus tau, aku juga merasakan sakit disini," bergerak lambat jarinya menunjuk ke dada.

"Tak berharap aku memilikimu lagi Za. Sadar akan kesalahanku dulu, ucapan memintamu kembali padaku hanya sebatas agar kau tau, tak ada bidadari selain dirimu."

Tanpa malu aku pun tersenyum. Sadar akan apa maksud hatinya. Tapi masih ada gejolak di hatiku, perasaan kecewa ini tak kan hilang dengan rayuan.

"Za sayangku. Aku sudah berubah, aku sudah menghukum diriku sendiri. Atas nama ibuku juga aku berjanji tak kan mengulangi kesalahan itu lagi. Demi cinta kita dulu, dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku minta maaf padamu Za."

Aku tersentuh akan kesungguhanya. Kegigihanya untuk menepati janji terakhirnya membuatku luluh.

Dalam hati aku berdoa, semoga keputusan yg aku ambil ini bisa meringankan beban-nya, "Demi agama yang aku anut, aku memaafkanmu mas. Demi cinta kita dulu, aku akan coba menerimamu lagi mas, sebatas kita tak bersentuhan. Dan, kiranya silahkan mas panggil aku dengan "Za" panggilan sayangmu, sebatas juga tanpa sepengetahuan suamiku."

Aku tak bisa menahan bibirku untuk tersenyum. Bukan mauku juga, tapi melihat mas Iyant tersenyum sumringah bahagia - seperti wajah anak-anak - seolah aku merasakan manisnya saat pacaran dulu. Ada setitik rasa bahagia di dalam relung hatiku. Kesungguhan mas Iyant akan keputusanya membuatku sadar, bahwa dia pasti sangat menderita. Terasa tak rela saat aku memikirkanya, membiarkan dia menderita sendiri, untuk membuktikan kesungguhan janjinya padaku, janji terakhirnya.

Mas Iyant memandangku lekat, seperti tak mau berkedip. "Aku..." dia tergagap, " a-aku mengerti Za, aku juga sadar dan tidak memaksamu. Aku bersyukur sekali kalau Za - ku, sang bidadariku, masih mengijinkan aku untuk mencintaimu."

"Tapi ingat mas. Kita sudah tidak mempunyai ikatan seperti dulu. Hubungan ini hanya bisa lewat kata-kata dan tatapan mata. Jangan kamu menyentuh kulitku mas." Kataku mengingatkan. Tapi nanti, tanpa aku sadari. Sayarat yang aku buat ini ternyata masih ada banyak celah. Nanti akan terbukti.

"Iyaaa.... gak apa-apa Za, ini sudah lebih dari harapanku." Senyumnya masih mengembang.

Aku lepas genggaman tanganya, sadar kita masih bersentuhan. "Katanya tadi numpang mandi mas." Kataku sambil menunjuk kamar mandi yg ada di belakangku. "Aku mau masak dulu, sudah siang, nanti telat matangnya."

Kulihat wajahnya terbengong melihat ke belakangku. Aku baru tersadar setelah menoleh ke belakang, sadar akan kamar mandiku yang tak berpin.....


Hik.....Aku tersadar dari lamunanku dan menagis. Terngiang akan kalimat yang baru saja terucap dari bibir mas Aris.

"Adek masih setia?" Kata-katanya tadi menohok hatiku.

"Adek masih setia sama mas?" Pertanyaannya diulang lagi, setelah lama belum ku jawab karna masih sesegukan menahan tangis.

"I..Iya mas. Adek akan setia padamu mas, hik...hik..tolong jangan tinggalin adek mas." Kataku, wajahku terbekap di dadanya.

"Ternyata adek selama ini masih...., angkat wajahmu dek, mas mau bicara." Kedua tanganya memegang kedua lenganku, memaksaku bangun dari pelukanku.

Aku pasrah, tak berani menatap mas Aris.

"Kita sudah bertahun-tahun membina rumah tangga ini dek, dan tak terhitung lagi suka duka yang sudah kita lewati. Kamu juga sudah punya anak, dan adek sudah tidak muda lagi." Tanganya memegang daguku, menyuruhku menatapnya.

"Tapi ternyata kamu......"

"Ternyata kamu masih....."

"Masih cuantik!"

"Huahahahaha......" memelukku.


By: max rayben

Get notifications from this blog